Yayasan Baraoi Mutiara Borneo (Bambo Foundation) | NGO Bidang Pendidikan, Sosial dan Lingkungan | Desa Tumbang Baraoi, Petak Malai, Katingan Kalimantan Tengah - Indonesia 74459

Selasa, 30 Maret 2021

Selamatkan Tumbuhan Lokal Melalui Taman Biodiversitas

SariAgri - Prihatin akan keberadaan tumbuhan buah lokal yang kian langka mendorong Yayasan Baraoi Mutiara Borneo (Bambo Foundation) berinisiatif mendirikan Taman Biodiversitas di Desa Tumbang Baraoi, Kecamatan Petak Malai, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah.

Taman Biodiversitas Suluh Pambelum

“Setiap tahun kehadiran buah-buahan lokal di pasar tradisional dan desa-desa yang dulu merupakan penghasilnya semakin berkurang, sementara upaya perbanyakan atau penanaman kembali nyaris tidak ada,” kata founder Bambo Foundation, Muhammad Jumani.

Terancamnya keberadaan buah-buah lokal tersebut, ungkap dia, akibat alih fungsi lahan dan kebiasaan sebagian masyarakat yang menempuh cara instan untuk memanen buah dengan cara menebang pohonnya. Padahal jika bergantung pada alam, perlu waktu hingga puluhan tahun bagi biji-bijian tersebut untuk bisa mencapai usia produktif dan menghasilkan buah.

Untuk itu, sejak 2016 Bambo Foundation memulai berburu biji-bijian tumbuhan buah lokal dari desa ke desa khususnya di Kecamatan Petak Malai untuk keperluan perbanyakan menggunakan teknik tanam biji di dalam polybag. Hasilnya, sudah ada ratusan bibit tumbuhan buah lokal yang sudah dan siap tanam.

Kini Taman Biodiversitas yang dirintis pada 23 Agustus 2019 itu sudah memiliki lebih dari seratusan bibit buah yang mana sebagian di antaranya adalah buah-buahan lokal eksotis dan khas seperti asam pangi (Mangifera pajang), kapul/ tampoi (Baccaurea macrocarpa), tenggareng (Nephelium ramboutan-ake), tangkuhis (Dimocarpus longan var malaysianus), kecapi (Sandoricum koetjapi), balangkasua, dan durian merah (Durio dulcis).

Tidak mudah menemukan areal yang tepat dan cukup luas untuk mendirikan sebuah Taman Biodiversitas. Beruntung, berkat kegigihan dan semangat pantang menyerah, hasil patungan pengurus akhirnya bisa membebaskan lahan milik masyarakat dengan sistem buy back land.

Sebelumnya Jumani, sapaan akrab pria kelahiran Batola, 22 Februari 1985 ini, menuturkan pernah melakukan penanaman bibit tumbuhan lokal bersama-sama masyarakat di beberapa lahan kosong strategis di Desa Tumbang Baraoi, seperti lingkungan SMA dan SD serta sekitar area Lapangan Sepak Bola “Buluh Merindu”, bertepatan Hari Bumi tahun 2018 namun hasilnya belum memuaskan.

“Penanaman tahun 2018 di lahan kosong areal pemukiman kurang efektif karena sulit kontroling, jadi kami berinisiatif membebaskan lahan tidur milik warga dengan sistem membeli lagi lahan masyarakat yang ditelantarkan tersebut, untuk dirintis menjadi Taman Biodiversitas agar lebih mudah dalam perawatan dan pengawasan,” ujar dia.

Pendirian Taman Biodiversitas adalah salah satu bentuk dukungan Yayasan Bambo kepada pemerintah dalam upaya melestarikankeanekaragaman hayati Indonesia. Selain sebagai tempat pelestarian tumbuhan lokal, taman biodiversitas juga berperan sebagai sumber genetik tumbuhan, tutupan vegetasi, ruang terbuka hijau dan ekowisata.

Sementara itu, pegiat konservasi keragaman hayati dari Pusat Studi & Konservasi Keanekaragaman Hayati Indonesia (Biodiversitas Indonesia) Ferry F. Hoesain, menyambut baik dan mengapresiasi atas upaya yang dilakukan Jumani dan timnya, Kalteng untuk melestarikan tumbuhan buah lokal yang saat ini semangkin langka.

Ferry, yang juga dikenal sebagai pelestari anggrek alam ini, berharap nantinya di Taman Biodiversitas yang dibangun Jumani dan kawan-kawan, bisa semakin banyak tanaman lokal yang bisa dikumpulkan dan ditumbuhkan dengan baik sehingga dapat menjadi tempat riset.

“Melalui kegiatan kepeloporan yang dilakukan oleh Jumani ini diharapkan, bisa juga menjadi inspirasi bagi tokoh muda di daerahnya masing-masing. Sehingga terbangun mata rantai kepedulian terhadap lingkungan, khususnya pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia, yang banyak sekali, bahkan mungkin ada yang belum teridentifikasi,” kata Ferry.

Sumber  : Sari Agri

Share:

Sabtu, 20 Maret 2021

Terlalu Dekat Dengan Hutan, Gedung Walet Bahayakan Satwa Liar

www.bambofoundation.org- Konflik antara satwa dan manusia menjadi sesuatu yang tak terhindarkan seiring banyaknya aktivitas manusia yang bersinggungan dengan alam. Cerita tragis Orangutan, Bekantan, Beruang, hingga Harimau yang terbunuh karena masuk pemukiman atau perkebunan warga adalah beberapa contoh ironi yang membuat miris hati.

Antang Alem

Muhammad Jumani, Pendiri Yayasan Baraoi Mutiara Borneo (Bambo Foundation) yang salah satu programnya bergerak dibidang lingkungan menjelaskan satwa-satwa tersebut dianggap sebagai hama atau ancaman karena harus berjuang hidup ditengah himpitan minimnya sumber pakan atau buruan akibat semakin masifnya kerusakan hutan dan alih fungsi lahan yang menjadi habitat mereka. Padahal semua itu tak lain karena insting bertahan hidup yang menuntunnya mengambil resiko memasuki pemukiman mencari makan sekedar agar tidak mati kelaparan.

Antang Alem

Kisah malang yang dialami contoh hewan-hewan di atas yang harus berhadapan dengan manusia juga tak luput dialami oleh Alap-Alap Walet (Falco subbuteo) burung dari keluarga Falconidae yang oleh sebagian masyarakat Katingan dikenal dengan sebutan “Antang Alem”.


Burung yang dalam bahasa Inggris disebut Eurasian hobby ini adalah salah satu jenis burung pemangsa berukuran kecil dan ramping dengan panjang tubuh antara 29-26 cm. Rentang sayapnya dapat membentang hingga 84 cm. Berat tubuhnya sangat ringan di mana jantan hanya 131-232 gram dan betina sekitar 141-340 gram sehingga wajar sangat efektif menjadikannya seekor predator handal.

Jumani, sapaan akrab laki-laki yang juga Guru di SMAN 1 Petak Malai ini menuturkan di beberapa daerah termasuk Katingan, Alap-alap walet sering kali dicap sebagai hama karena diyakini kerap memangsa burung walet menjelang malam hari ketika burung-burung tersebut akan masuk ke pintu gedung-gedung yang dibangun untuk mereka bersarang. Karena kebiasaan inilah ia mendapat julukan “Antang Alem” atau jika dalam bahasa Indonesia berarti “Elang Malam”.

“Hewan memiliki insting yang menuntun mereka pada mangsa”, ujar Jumani di Petak malai, Selasa.

Potensi menggiurkan dari bisnis sarang burung walet membuat gedung-gedung sarang burung walet menjamur tidak hanya di daerah pemukiman tetapi juga daerah-daerah pinggiran hutan yang sejatinya merupakan habitat Si “Antang Alem”.  Konflik pun tak bisa terhindarkan antara pemilik gedung dan hewan malang tersebut. Dampaknya Si “Antang Alem” kerap diburu dengan senapan atau dijebak menggunakan jaring khusus Karena dianggap sebagai hama.

Meskipun saat ini IUCN Red List masih menetapkan satwa ini dalam status kurang mengkhawatirkan namun perdagangan Alap-alap walet masuk dalam katagori Appendix II, di mana perdaganganya harus mengikuti peraturan tertentu, selain itu upaya perlindungan hewan ini juga diatur dalam PP no 7 tahun 1999.

Kekhawatiran terhadap kelestarian alam termasuk isu-isu lingkungan semisal konflik satwa liar dengan masyarakat seperti inilah yang mendorong Jumani melalui Bambo Foundation aktif mendukung pemerintah dalam bidang lingkungan melalui berbagai kegiatan, salah satunya dengan menggagas Program Peduli jantung Borneo (PJB) pada tahun 2019 dengan merintis Taman Biodiversitas di Desa Tumbang Baraoi, Kecamatan Petak Malai, Kabupaten Katingan.

Jumani berharap, upaya-upaya atau langkah-langkah konkrit untuk menjaga flora dan fauna dari ancaman kepunahan harus dipikirkan sedini mungkin tidak hanya oleh pemerintah tetapi seluruh komponen masyarakat. Sebab hutan dan kekayaan alam yang ada saat ini adalah titipan anak cucu kita kelak yang harus kita jaga dan pertanggungjawabkan. 

Share:

Facebook

Mengenai Saya

Foto saya
Yayasan Baraoi Mutiara Borneo (Bambo Foundation) | NGO Bidang Pendidikan, Sosial dan Lingkungan | Desa Tumbang Baraoi, Petak Malai, Katingan Kalimantan Tengah- Indonesia 74459